Ke Depan, Pemimpin Bangsa Harus Perpaduan Tradisional dan Modern
Oleh : Ruslan Andy Chandra
KabarIndonesia - Faktor kepemimpinan amat menentukan seluruh dimensi setiap bangsa, karena maju mundurnya bangsa, jatuh bangunnya bangsa, ditentukan sang pemimpin. Pemimpinlah yang merancang masa depan serta menggerakkan masyarakat untuk mencapainya. Pemilihan umum (pemilu) sebagai wahana suksesi kepemimpinan nasional merupakan momentum “tidak boleh asal pilih pemimpin”. Rakyat harus jeli memilih calon pemimpin yang bervisi meningkatkan harkat dan martabat Indonesia.
Sebagai sumbangsih mewacanakan kepemimpinan nasional, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Perhimpunan Sarjana Administrasi Indonesia (Persadi) menyelenggarakan Seminar Nasional “Kepemimpinan Nasional Pasca-Pemilu 2009” di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya, 28 Februari 2008. Menurut Ketua Panitia Pelaksana yang juga Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Suhadak, kegiatan dalam rangka Dies Natalis ke-45 (Lustrum IX) Universitas Brawijaya itu sangat tepat mengingat Indonesia telah memasuki hiruk-pikuk pemilihanan umum di tingkat lokal hingga pemilihan umum di tingkat nasional.
Seminar nasional itu menghadirkan tokoh-tokoh yang menawarkan konsep kepemimpinan nasional yakni Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang juga Ketua Persadi Ginandjar Kartasasmita, mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang Panglima Tentara Nasional Indonesia) yang kini Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, dan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Prabowo Subianto. Acara dihadiri berbagai lapisan masyarakat, seperti mahasiswa, akademisi, pejabat sipil dan militer di wilayah Malang Raya, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Dalam sambutannya, Rektor Universitas Brawijaya Yogi Sugito mengatakan, tolok ukur kepemimpinan adalah keberhasilannya membangun bangsa dan negara yang terindikasi dari kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pengurangan penganggur. “Jika gagal, pemimpin akan ditinggal rakyatnya, bahkan ideologi negara akan goyah,” ujarnya. Untuk itu, dibutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang visioner dengan kejelasan arah pembangunan jangka panjang, berjiwa pemersatu, berani mengubah, peka situasi dan kondisi masyarakat, serta menjunjung kebenaran dan keadilan.
Kepemimpinan untuk Indonesia
Ginandjar menyimpulkan paparannya dengan mengatakan, ke depan, pemimpin bangsa harus memiliki perpaduan pemikiran tradisional dan modern. Kepemimpinan masa depan di samping memiliki sifat-sifat tradisional sebagai perlambang watak dan moral bangsa, juga harus bersosok modern.
Pemimpin Indonesia yang disyaratkan adalah seorang yang memiliki jiwa kerakyatan, profesional, berwawasan, inovatif, dan rasional, selain memiliki kemampuan memahami masalah yang kompleks dan menemukan pemecahan sederhana yang mudah dilaksanakan, disertai keberanian mengambil resiko dan menghitungnya.
Bagaimana menemukan pemimpin serupa itu? “Pemimpin memang bisa dilahirkan tetapi juga bisa dibuat,” ujarnya. Acapkali dikatakan, pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader) atau pemimpin adalah “produk budaya” masyarakatnya. “Maka sungguh penting menanam lahan yang subur sejak sekarang untuk menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki,” kata Ginandjar.
Di sinilah peran pendidikan teramat penting dan strategis untuk menempa pemimpin-pemimpin masa depan sebagai sosok yang memadukan nilai-nilai tradisional dan modern. “Oleh karena itu, kualitas pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin masa depan,” tandas lulusan Tokyo University of Agriculture and Technology ini.
Saat ini Indonesia mengalami “defisit” kepemimpinan baik pada level nasional maupun lokal. Mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini mengakui, sebenarnya banyak orang yang berkualitas di Indonesia namun sayangnya mereka tidak mau menjadi pemimpin. Sebaliknya, banyak orang yang tidak memiliki kemampuan justru berebut menjadi pemimpin.
Mengawali paparannya, ia mengangkat model kepemimpinan warisan budaya Indonesia di antaranya Hastha Brata (delapan ajaran keutamaan) yang identik dengan sifat-sifat alam, di samping rumusan kepemimpinan nasional Ki Hajar Dewantara, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wurí handayani. Model kepemimpinan yang dipesankan para leluhur ini merupakan sifat-sifat kepemimpinan universal yang berlaku seusia zaman dan tidak tergerus modernisasi.
“Ini merupakan contoh nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, yang tidak lapuk dan lekang oleh waktu,” ungkap mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini. Sifat-sifat kepemimpinan universal ini berintikan nilai-nilai kepemimpinan bahwa pemimpin harus dapat memotivasi dan meyakinkan yang dipimpin dan yang dipimpin pun harus dapat merasakan kemanfaatan dari kepemimpinannya.
Berdasarkan nilai-nilai kepemimpinan seperti itu, ia mensyaratkan pemimpin Indonesia masa depan harus memiliki idealisme, pengetahuan, keteladanan, dan sumber inspirasi. Pemimpin Indonesia masa depan tidak mungkin bersandar semata-mata kepada kharisma, baik dari pembawaan, peran sejarah, atau dibuat sintetis. Kelebihan seorang pemimpin akan diukur masyarakat dan orang-orang yang setara (equal) dengannya dari prestasi nyata dan kualitas pemikirannya.
Pemimpin yang dituntut adalah berjiwa kerakyatan serta menyadari kepemimpinannya adalah mandat atau kepercayaan yang diberikan oleh yang dipimpin dan harus dipertanggungjawabkan. “Tidak mungkin lagi seorang pemimpin masa kini dan masa depan merasa kepemimpinan sebagai haknya, entah karena keturunan, kekayaan, atau kepintaran,” tukas mantan Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri dan Menteri Pertambangan dan Energi ini.
Para pemimpin masa kini dan masa depan akan memimpin rakyat yang berpengetahuan makin luas, dalam, dan beragam; yang makin memahami hak-hak dan makin menjaga menjaga martabat, dan kepentingannya. Pemimpin masyarakat modern harus siap memimpin secara demokratis dengan kesadaran bahwa kehidupan demokrasi senafas dengan kemajuan dan kesejahteraan. “Pemimpin yang diperlukan dan yang paling akan berhasil memimpin adalah pemimpin yang berjiwa demokrat tetapi tegas dalam prinsip dan tindakan.”
Masyarakat yang makin canggih dengan tuntutan yang juga makin canggih memerlukan pemimpin yang berwawasan ke masa depan. Karena masa depan sangat padat teknologi maka pemimpin tidak boleh merasa asing terhadap kemajuan ilmu dan teknologi. Yang lebih penting, ia harus akrab dan mengapresiasi ilmu dan teknologi sebagai unsur yang sangat pokok membentuk masa depan.
Dalam suasana kehidupan makin rumit dan menentukan pilihan menjadi makin sulit maka kearifan sangat diperlukan untuk menentukan yang terbaik atau yang paling kurang buruk di antara alternatif-alternatif yang buruk. Di samping kearifan, diperlukan tingkat pemahaman teknis agar keputusan yang berimplikasi kompleks tidak diambil semata-mata intuisi tetapi berdasarkan perhitungan.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Keuangan dan Industri ini menambahkan, masyarakat masa depan yang berciri keterbukaan dan kebebasan memerlukan pengembangan kreativitas karena akan makin pelik mencapai konsensus. Kembali diperlukan kearifan untuk mengambil keputusan yang tepat dan didukung orang banyak.
Perkembangan dunia serta persaingan yang makin tajam membuat pemimpin masa kini dan masa depan harus memiliki pengetahuan memadai mengenai tata hubungan internasional dan bekerjanya mekanisme ekonomi dunia. Para pemimpin masa depan harus memiliki kemampuan untuk memenangkan bangsa ini dalam persaingan untuk mencapai kesejahteraan.
“Dalam era globalisasi ini, tidak ada bangsa yang dapat mengisolasi diri dan tidak tergantung kepada hubungan internasional,” lanjut Ginandjar. Secara keseluruhan, pemimpin yang dibutuhkan harus membangun bangsa ini menjadi maju dan mandiri. Kemajuan dan kemandirian menjadi landasan serta modal mencapai kemakmuran bangsa yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain.
Kepemimpinan yang Kuat
Sebagai purnawirawan jenderal TNI yang berkecimpung di partai politik, Wiranto mengaku banyak berkesempatan memandang Indonesia dari bawah dengan “hati nurani”. Melalui cara ini, ia memperhatikan keadaan Indonesia yang selalu dirundung berbagai masalah. Salah satu yang paling disoroti adalah pergulatan Indonesia sebagai negara produsen dan konsumen di tengah globalisasi yang penuh kompetisi.
Mengatasi berbagai kompleksitas yang merundung Indonesia, diperlukan penanaman rasa kebanggaan, kepercayaan diri, serta harga diri kepada generasi bangsa. “Kebanggaan atas diri bukan dimaknai sebagai eksistensi buta yang lantas menerima paham chauvinisme dengan menganggap diri superior, tapi lebih pada keyakinan diri untuk eksis, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju,” ujarnya. “Bila mental seperti ini telah dimiliki, langkah awal untuk merenda Indonesia yang mandiri tinggal dilanjutkan dengan kerja keras, kerja cerdas dan perencanaan terukur serta komitmen yang tinggi,” tambahnya.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat ini mengutip Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dalam Als Ik eens Nederlander was (Jika Aku Seorang Belanda) bahwa, “Proses emansipasi berkembang dengan kecepatan yang luar biasa maka sudah bisa dipikirkan kemungkinan bahwa rakyat itu yang kini masih terjajah, pada suatau saat nanti akan melampaui tuannya.”
Pernyataan tersebut menggambarkan kesulitan seorang Indonesia yang berkeinginan menegaskan eksistensinya di zaman Hindia Belanda. Soewardi mengandaikan diri sebagai seorang Belanda agar sejajar dengan penguasa ketika menyampaikan pemikiran tentang kemerdekaan. “Kalau ia menempatkan diri sebagai inlander, ngomong begitu, berbahaya.”
“Dengan mengandaikan diri sebagai seorang Belanda tentunya ia akan bisa memberikan suatu ransangan atau impuls tertentu kepada si penjajah bahwa begitulah keadaannya,” ungkap mantan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ini. Pernyataan Soewardi menyiratkan keberanian untuk sejajar dengan penguasa meskipun rakyat Indonesia berstatus terjajah.
Untuk melepaskan diri dari status terjajah dan menegaskan eksistensi di zaman merdeka, rakyat Indonesia membutuhkan kebanggaan sebagai bangsa, harga diri, dan martabat. Akan kesulitan menata kembali Republik yang entah berbentuk apa saat ini jika kita tidak mempercayai diri sendiri.
Keyakinan untuk melepaskan diri dan menegaskan eksistensi merupakan langkah awal untuk mewujudkan kemandirian Indonesia yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju. “Dari sana akan bergulir suatu semangat yang luar biasa terbebas dari kesulitan,” ujarnya.
Sekarang, pemimpin bangsa menghadapi keadaan yang bagaimana? Kriteria pemimpin bangsa mendatang seperti apa? Menurut Wiranto, perkembangan global dan nasional dewasa ini menuntut kepemimpinan yang kuat, bukan perorangan melainkan kekuatan berlegitimasi konstitusi untuk menata kembali pembangunan hukum, demokrasi, dan ekonomi. “Pemimpin Indonesia nanti harus melampaui ujian-ujian,” kata mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI AD (Pangkostrad) ini.
Ujian-ujian yang dimaksud adalah perkembangan global yang menunjukkan kecenderungan yang semakin menghabisi Indonesia. Tanda-tandanya, kesatu, negara berpenduduk terbesar nomor empat di dunia ini merupakan pasar yang sangat potensial jika menjadi konsumen yang makin tergantung negara-negara produsen. “Terjadi pergulatan antara negara konsumen dan negara produsen. Kalau kita menjadi negara produsen, kita menang. Kalau kita menjadi negara konsumen, kita kalah.”
Persaingan global, walaupun secara formal ditandai dengan kerjasama bilateral dan multilateral terutama di bidang ekonomi, esensinya secara nonformal adalah pertandingan yang sangat ketat bahkan saling menekan dan menjatuhkan. Secara kondrati pun, akan terjadi perebutan pasar antar-negara yang lebih kuat terhadap negara-negara yang lebih lemah. “Kita sekarang lagi dibanjiri produk-produk asing yang tak terbendung,” urainya.
Kedua, mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam dengan jumlah terbesar di dunia juga dipecah belah. Apabila pemeluk Islam bersatu, akan sangat sulit dikendalikan kekuatan adidaya. “Saat ini, belum terbentuk persatuan yang solid, menjadikan negeri kita belum mampu membuat kesepakatan kolektif bangsa, termasuk pemahaman yang sama menyikapi masalah demokrasi.”
Ketiga, keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan yang tersebar di antara dua samudera dan dua benua merupakan faktor penentu dalam konteks geo-politik dan geo-ekonomi. “Kalau kita mandiri, geo-politik dan geo-ekonomi dimanfaatkan, kita akan menjadi negara yang diperhitungkan.”
Keempat, sumber daya alam Indonesia yang kaya raya masih dikuasai dan dikuras perusahaan asing dengan kepemilikan saham hingga 100% sebelum kita memproteksinya. Beroperasinya perusahaan asing di Indonesia seperti Freeport McMoran (FM), Newmont, ExxonMobil Corporation, dan British Petroleum Company mengisyaratkan pembenaran hipotesis tersebut. “Kita telah melibatkan mereka mengambil kekayaan kita untuk keuntungan kita,” ujarnya.
Belum lagi perkembangan nasional dengan seabrek persoalan sebagai ujian-ujian di samping ujian-ujian perkembangan global. Demokrasi yang dipraktikkan menjauh dari nilai-nilai asli, masih sebatas prosedural belum substansial. “Bahkan saat saya merasakan bahwa demokrasi sudah menjadi komoditas.” Di mana-mana euforia kebebasan tanpa mengindahkan konstitusi. Hasilnya, chaos menjadi rutinitas di negeri yang dulu sangat menjujung toleransi.
Ketimpangan ekonomi juga sangat kental mewarnai perjalanan sejarah. Bahkan, berkelindan dengan kekuasaan yang menghasilkan oligarki untuk memperalat rakyat dan penguasa demi kepentingan individu dan kelompok.
Masalah-masalah yang dihadapi Indonesia itu tidak dengan sendirinya terpecahkan jika pemimpin yang terpilih hanya asal-asalan. Wiranto mengatakan, diperlukan persiapan memasuki proses kepemimpinan yang kuat bukan saja perorangan namu berlegitimasi konstitusi untuk menata kembali pembangunan hukum, demokrasi, dan ekonomi. “Ujung-ujungnya, bagaimana sang pemimpin seperti dirigen mengharmoniskan irama.”
Menurutnya, transformasi yang dialami dalam beberapa tahun ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar. Proses demokrasi itu sudah sampai ke titik point of no return atau tidak bisa kembali lagi ke masa dulu. “Tetapi demokrasi yang bagaimana harus kita bangun? The workable democracy, demokrasi yang bisa bekerja.”
Caranya, memunculkan satu kekuatan politik besar yang mampu mengungguli kekuatan politik lainnya sebagai the single majority. Kekuatan tersebut selain unggul dalam suara berarti kuat dalam bargaining serta menguasai pemerintahan dalamjangka waktu cukup lama.
Namun ia menyadari, kiranya amat sulit memunculkan segera suatu kekuatan politik besar beranjak dari konfigurasi perpolitikan dewasa ini. Kalaupun bukan mayoritas tunggal, menggabungkan beberapa kekuatan politik yang memiliki kesamaan platform perjuangan dapat dimunculkan untuk menciptakan mayoritas koalisi.
Selaku Ketua Umum DPP Hanura, Wiranto menawarkan model mayoritas koalisi yang merupakan gabungan kekuatan politik yang memiliki satu platform perjuangan untuk melakukan perubahan yang kuat dalam rangka menata ulang pembangunan hukum, demokrasi dan perekonomian nasional.
Prabowo Subianto menceritakan pengalamannya sebagai pengusaha di bidang pertanian. Secara khusus, mantan Pangkostrad berpangkat purnawiraran letnan jenderal TNI ini menggambarkan berbagai “permainan” para taipan yang “menggerogoti” perekonomian Indonesia. Rantai ini telah terbentuk sejak hulu hingga hilir yang tidak seimbang dengan pemasukan yang sangat minim ke kas negara. Atas fenomena ini, secara khusus ia menyarankan agar Hak Guna Usaha (HGU) hanya diberikan kepada pemodal yang “setia” kepada negara.
Provinsi Gorontalo yang kini mengalami kemajuan pesat dipresentasikan gubernurnya, Fadel Muhammad. Putera Gorontalo ini mengaku mulai membangun Gorontalo dengan berbagai indikator keterbelakangan, mulai angka kemiskinan yang mencapai 72%, keterbelakangan, hingga kemiskinan yang mengkronik. Melalui pembangunan berbasis pertanian, ia menyebutkan beberapa keberhasilannya memajukan Gorontalo yang terukur yaitu angka kemiskinan turun menjadi 20%, pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia hingga 8%, dan penghargaan BPK Award setahun silam untuk transparansi pemerintahan.
Beberapa komoditas andalan provinsi ini dikembangkannya seperti jagung, beras, sapi, kedelai, dan perikanan. Dalam presentasinya ia memaparkan berbagai masalah penting yang menjadi prioritas membangun bangsa yang berperadaban yaitu memperhatikan pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM), membangun budaya positif, budaya organisasi dan pemerintahan yang baik dengan kapasitas manajemen kewirausahaan serta transparansi dan demokratisasi. (DPD RI-RAC)\
Sebagai sumbangsih mewacanakan kepemimpinan nasional, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Perhimpunan Sarjana Administrasi Indonesia (Persadi) menyelenggarakan Seminar Nasional “Kepemimpinan Nasional Pasca-Pemilu 2009” di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya, 28 Februari 2008. Menurut Ketua Panitia Pelaksana yang juga Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Suhadak, kegiatan dalam rangka Dies Natalis ke-45 (Lustrum IX) Universitas Brawijaya itu sangat tepat mengingat Indonesia telah memasuki hiruk-pikuk pemilihanan umum di tingkat lokal hingga pemilihan umum di tingkat nasional.
Seminar nasional itu menghadirkan tokoh-tokoh yang menawarkan konsep kepemimpinan nasional yakni Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang juga Ketua Persadi Ginandjar Kartasasmita, mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang Panglima Tentara Nasional Indonesia) yang kini Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, dan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Prabowo Subianto. Acara dihadiri berbagai lapisan masyarakat, seperti mahasiswa, akademisi, pejabat sipil dan militer di wilayah Malang Raya, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Dalam sambutannya, Rektor Universitas Brawijaya Yogi Sugito mengatakan, tolok ukur kepemimpinan adalah keberhasilannya membangun bangsa dan negara yang terindikasi dari kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pengurangan penganggur. “Jika gagal, pemimpin akan ditinggal rakyatnya, bahkan ideologi negara akan goyah,” ujarnya. Untuk itu, dibutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang visioner dengan kejelasan arah pembangunan jangka panjang, berjiwa pemersatu, berani mengubah, peka situasi dan kondisi masyarakat, serta menjunjung kebenaran dan keadilan.
Kepemimpinan untuk Indonesia
Ginandjar menyimpulkan paparannya dengan mengatakan, ke depan, pemimpin bangsa harus memiliki perpaduan pemikiran tradisional dan modern. Kepemimpinan masa depan di samping memiliki sifat-sifat tradisional sebagai perlambang watak dan moral bangsa, juga harus bersosok modern.
Pemimpin Indonesia yang disyaratkan adalah seorang yang memiliki jiwa kerakyatan, profesional, berwawasan, inovatif, dan rasional, selain memiliki kemampuan memahami masalah yang kompleks dan menemukan pemecahan sederhana yang mudah dilaksanakan, disertai keberanian mengambil resiko dan menghitungnya.
Bagaimana menemukan pemimpin serupa itu? “Pemimpin memang bisa dilahirkan tetapi juga bisa dibuat,” ujarnya. Acapkali dikatakan, pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader) atau pemimpin adalah “produk budaya” masyarakatnya. “Maka sungguh penting menanam lahan yang subur sejak sekarang untuk menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki,” kata Ginandjar.
Di sinilah peran pendidikan teramat penting dan strategis untuk menempa pemimpin-pemimpin masa depan sebagai sosok yang memadukan nilai-nilai tradisional dan modern. “Oleh karena itu, kualitas pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin masa depan,” tandas lulusan Tokyo University of Agriculture and Technology ini.
Saat ini Indonesia mengalami “defisit” kepemimpinan baik pada level nasional maupun lokal. Mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini mengakui, sebenarnya banyak orang yang berkualitas di Indonesia namun sayangnya mereka tidak mau menjadi pemimpin. Sebaliknya, banyak orang yang tidak memiliki kemampuan justru berebut menjadi pemimpin.
Mengawali paparannya, ia mengangkat model kepemimpinan warisan budaya Indonesia di antaranya Hastha Brata (delapan ajaran keutamaan) yang identik dengan sifat-sifat alam, di samping rumusan kepemimpinan nasional Ki Hajar Dewantara, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wurí handayani. Model kepemimpinan yang dipesankan para leluhur ini merupakan sifat-sifat kepemimpinan universal yang berlaku seusia zaman dan tidak tergerus modernisasi.
“Ini merupakan contoh nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, yang tidak lapuk dan lekang oleh waktu,” ungkap mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini. Sifat-sifat kepemimpinan universal ini berintikan nilai-nilai kepemimpinan bahwa pemimpin harus dapat memotivasi dan meyakinkan yang dipimpin dan yang dipimpin pun harus dapat merasakan kemanfaatan dari kepemimpinannya.
Berdasarkan nilai-nilai kepemimpinan seperti itu, ia mensyaratkan pemimpin Indonesia masa depan harus memiliki idealisme, pengetahuan, keteladanan, dan sumber inspirasi. Pemimpin Indonesia masa depan tidak mungkin bersandar semata-mata kepada kharisma, baik dari pembawaan, peran sejarah, atau dibuat sintetis. Kelebihan seorang pemimpin akan diukur masyarakat dan orang-orang yang setara (equal) dengannya dari prestasi nyata dan kualitas pemikirannya.
Pemimpin yang dituntut adalah berjiwa kerakyatan serta menyadari kepemimpinannya adalah mandat atau kepercayaan yang diberikan oleh yang dipimpin dan harus dipertanggungjawabkan. “Tidak mungkin lagi seorang pemimpin masa kini dan masa depan merasa kepemimpinan sebagai haknya, entah karena keturunan, kekayaan, atau kepintaran,” tukas mantan Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri dan Menteri Pertambangan dan Energi ini.
Para pemimpin masa kini dan masa depan akan memimpin rakyat yang berpengetahuan makin luas, dalam, dan beragam; yang makin memahami hak-hak dan makin menjaga menjaga martabat, dan kepentingannya. Pemimpin masyarakat modern harus siap memimpin secara demokratis dengan kesadaran bahwa kehidupan demokrasi senafas dengan kemajuan dan kesejahteraan. “Pemimpin yang diperlukan dan yang paling akan berhasil memimpin adalah pemimpin yang berjiwa demokrat tetapi tegas dalam prinsip dan tindakan.”
Masyarakat yang makin canggih dengan tuntutan yang juga makin canggih memerlukan pemimpin yang berwawasan ke masa depan. Karena masa depan sangat padat teknologi maka pemimpin tidak boleh merasa asing terhadap kemajuan ilmu dan teknologi. Yang lebih penting, ia harus akrab dan mengapresiasi ilmu dan teknologi sebagai unsur yang sangat pokok membentuk masa depan.
Dalam suasana kehidupan makin rumit dan menentukan pilihan menjadi makin sulit maka kearifan sangat diperlukan untuk menentukan yang terbaik atau yang paling kurang buruk di antara alternatif-alternatif yang buruk. Di samping kearifan, diperlukan tingkat pemahaman teknis agar keputusan yang berimplikasi kompleks tidak diambil semata-mata intuisi tetapi berdasarkan perhitungan.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Keuangan dan Industri ini menambahkan, masyarakat masa depan yang berciri keterbukaan dan kebebasan memerlukan pengembangan kreativitas karena akan makin pelik mencapai konsensus. Kembali diperlukan kearifan untuk mengambil keputusan yang tepat dan didukung orang banyak.
Perkembangan dunia serta persaingan yang makin tajam membuat pemimpin masa kini dan masa depan harus memiliki pengetahuan memadai mengenai tata hubungan internasional dan bekerjanya mekanisme ekonomi dunia. Para pemimpin masa depan harus memiliki kemampuan untuk memenangkan bangsa ini dalam persaingan untuk mencapai kesejahteraan.
“Dalam era globalisasi ini, tidak ada bangsa yang dapat mengisolasi diri dan tidak tergantung kepada hubungan internasional,” lanjut Ginandjar. Secara keseluruhan, pemimpin yang dibutuhkan harus membangun bangsa ini menjadi maju dan mandiri. Kemajuan dan kemandirian menjadi landasan serta modal mencapai kemakmuran bangsa yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain.
Kepemimpinan yang Kuat
Sebagai purnawirawan jenderal TNI yang berkecimpung di partai politik, Wiranto mengaku banyak berkesempatan memandang Indonesia dari bawah dengan “hati nurani”. Melalui cara ini, ia memperhatikan keadaan Indonesia yang selalu dirundung berbagai masalah. Salah satu yang paling disoroti adalah pergulatan Indonesia sebagai negara produsen dan konsumen di tengah globalisasi yang penuh kompetisi.
Mengatasi berbagai kompleksitas yang merundung Indonesia, diperlukan penanaman rasa kebanggaan, kepercayaan diri, serta harga diri kepada generasi bangsa. “Kebanggaan atas diri bukan dimaknai sebagai eksistensi buta yang lantas menerima paham chauvinisme dengan menganggap diri superior, tapi lebih pada keyakinan diri untuk eksis, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju,” ujarnya. “Bila mental seperti ini telah dimiliki, langkah awal untuk merenda Indonesia yang mandiri tinggal dilanjutkan dengan kerja keras, kerja cerdas dan perencanaan terukur serta komitmen yang tinggi,” tambahnya.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat ini mengutip Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dalam Als Ik eens Nederlander was (Jika Aku Seorang Belanda) bahwa, “Proses emansipasi berkembang dengan kecepatan yang luar biasa maka sudah bisa dipikirkan kemungkinan bahwa rakyat itu yang kini masih terjajah, pada suatau saat nanti akan melampaui tuannya.”
Pernyataan tersebut menggambarkan kesulitan seorang Indonesia yang berkeinginan menegaskan eksistensinya di zaman Hindia Belanda. Soewardi mengandaikan diri sebagai seorang Belanda agar sejajar dengan penguasa ketika menyampaikan pemikiran tentang kemerdekaan. “Kalau ia menempatkan diri sebagai inlander, ngomong begitu, berbahaya.”
“Dengan mengandaikan diri sebagai seorang Belanda tentunya ia akan bisa memberikan suatu ransangan atau impuls tertentu kepada si penjajah bahwa begitulah keadaannya,” ungkap mantan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ini. Pernyataan Soewardi menyiratkan keberanian untuk sejajar dengan penguasa meskipun rakyat Indonesia berstatus terjajah.
Untuk melepaskan diri dari status terjajah dan menegaskan eksistensi di zaman merdeka, rakyat Indonesia membutuhkan kebanggaan sebagai bangsa, harga diri, dan martabat. Akan kesulitan menata kembali Republik yang entah berbentuk apa saat ini jika kita tidak mempercayai diri sendiri.
Keyakinan untuk melepaskan diri dan menegaskan eksistensi merupakan langkah awal untuk mewujudkan kemandirian Indonesia yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju. “Dari sana akan bergulir suatu semangat yang luar biasa terbebas dari kesulitan,” ujarnya.
Sekarang, pemimpin bangsa menghadapi keadaan yang bagaimana? Kriteria pemimpin bangsa mendatang seperti apa? Menurut Wiranto, perkembangan global dan nasional dewasa ini menuntut kepemimpinan yang kuat, bukan perorangan melainkan kekuatan berlegitimasi konstitusi untuk menata kembali pembangunan hukum, demokrasi, dan ekonomi. “Pemimpin Indonesia nanti harus melampaui ujian-ujian,” kata mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI AD (Pangkostrad) ini.
Ujian-ujian yang dimaksud adalah perkembangan global yang menunjukkan kecenderungan yang semakin menghabisi Indonesia. Tanda-tandanya, kesatu, negara berpenduduk terbesar nomor empat di dunia ini merupakan pasar yang sangat potensial jika menjadi konsumen yang makin tergantung negara-negara produsen. “Terjadi pergulatan antara negara konsumen dan negara produsen. Kalau kita menjadi negara produsen, kita menang. Kalau kita menjadi negara konsumen, kita kalah.”
Persaingan global, walaupun secara formal ditandai dengan kerjasama bilateral dan multilateral terutama di bidang ekonomi, esensinya secara nonformal adalah pertandingan yang sangat ketat bahkan saling menekan dan menjatuhkan. Secara kondrati pun, akan terjadi perebutan pasar antar-negara yang lebih kuat terhadap negara-negara yang lebih lemah. “Kita sekarang lagi dibanjiri produk-produk asing yang tak terbendung,” urainya.
Kedua, mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam dengan jumlah terbesar di dunia juga dipecah belah. Apabila pemeluk Islam bersatu, akan sangat sulit dikendalikan kekuatan adidaya. “Saat ini, belum terbentuk persatuan yang solid, menjadikan negeri kita belum mampu membuat kesepakatan kolektif bangsa, termasuk pemahaman yang sama menyikapi masalah demokrasi.”
Ketiga, keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan yang tersebar di antara dua samudera dan dua benua merupakan faktor penentu dalam konteks geo-politik dan geo-ekonomi. “Kalau kita mandiri, geo-politik dan geo-ekonomi dimanfaatkan, kita akan menjadi negara yang diperhitungkan.”
Keempat, sumber daya alam Indonesia yang kaya raya masih dikuasai dan dikuras perusahaan asing dengan kepemilikan saham hingga 100% sebelum kita memproteksinya. Beroperasinya perusahaan asing di Indonesia seperti Freeport McMoran (FM), Newmont, ExxonMobil Corporation, dan British Petroleum Company mengisyaratkan pembenaran hipotesis tersebut. “Kita telah melibatkan mereka mengambil kekayaan kita untuk keuntungan kita,” ujarnya.
Belum lagi perkembangan nasional dengan seabrek persoalan sebagai ujian-ujian di samping ujian-ujian perkembangan global. Demokrasi yang dipraktikkan menjauh dari nilai-nilai asli, masih sebatas prosedural belum substansial. “Bahkan saat saya merasakan bahwa demokrasi sudah menjadi komoditas.” Di mana-mana euforia kebebasan tanpa mengindahkan konstitusi. Hasilnya, chaos menjadi rutinitas di negeri yang dulu sangat menjujung toleransi.
Ketimpangan ekonomi juga sangat kental mewarnai perjalanan sejarah. Bahkan, berkelindan dengan kekuasaan yang menghasilkan oligarki untuk memperalat rakyat dan penguasa demi kepentingan individu dan kelompok.
Masalah-masalah yang dihadapi Indonesia itu tidak dengan sendirinya terpecahkan jika pemimpin yang terpilih hanya asal-asalan. Wiranto mengatakan, diperlukan persiapan memasuki proses kepemimpinan yang kuat bukan saja perorangan namu berlegitimasi konstitusi untuk menata kembali pembangunan hukum, demokrasi, dan ekonomi. “Ujung-ujungnya, bagaimana sang pemimpin seperti dirigen mengharmoniskan irama.”
Menurutnya, transformasi yang dialami dalam beberapa tahun ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar. Proses demokrasi itu sudah sampai ke titik point of no return atau tidak bisa kembali lagi ke masa dulu. “Tetapi demokrasi yang bagaimana harus kita bangun? The workable democracy, demokrasi yang bisa bekerja.”
Caranya, memunculkan satu kekuatan politik besar yang mampu mengungguli kekuatan politik lainnya sebagai the single majority. Kekuatan tersebut selain unggul dalam suara berarti kuat dalam bargaining serta menguasai pemerintahan dalamjangka waktu cukup lama.
Namun ia menyadari, kiranya amat sulit memunculkan segera suatu kekuatan politik besar beranjak dari konfigurasi perpolitikan dewasa ini. Kalaupun bukan mayoritas tunggal, menggabungkan beberapa kekuatan politik yang memiliki kesamaan platform perjuangan dapat dimunculkan untuk menciptakan mayoritas koalisi.
Selaku Ketua Umum DPP Hanura, Wiranto menawarkan model mayoritas koalisi yang merupakan gabungan kekuatan politik yang memiliki satu platform perjuangan untuk melakukan perubahan yang kuat dalam rangka menata ulang pembangunan hukum, demokrasi dan perekonomian nasional.
Prabowo Subianto menceritakan pengalamannya sebagai pengusaha di bidang pertanian. Secara khusus, mantan Pangkostrad berpangkat purnawiraran letnan jenderal TNI ini menggambarkan berbagai “permainan” para taipan yang “menggerogoti” perekonomian Indonesia. Rantai ini telah terbentuk sejak hulu hingga hilir yang tidak seimbang dengan pemasukan yang sangat minim ke kas negara. Atas fenomena ini, secara khusus ia menyarankan agar Hak Guna Usaha (HGU) hanya diberikan kepada pemodal yang “setia” kepada negara.
Provinsi Gorontalo yang kini mengalami kemajuan pesat dipresentasikan gubernurnya, Fadel Muhammad. Putera Gorontalo ini mengaku mulai membangun Gorontalo dengan berbagai indikator keterbelakangan, mulai angka kemiskinan yang mencapai 72%, keterbelakangan, hingga kemiskinan yang mengkronik. Melalui pembangunan berbasis pertanian, ia menyebutkan beberapa keberhasilannya memajukan Gorontalo yang terukur yaitu angka kemiskinan turun menjadi 20%, pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia hingga 8%, dan penghargaan BPK Award setahun silam untuk transparansi pemerintahan.
Beberapa komoditas andalan provinsi ini dikembangkannya seperti jagung, beras, sapi, kedelai, dan perikanan. Dalam presentasinya ia memaparkan berbagai masalah penting yang menjadi prioritas membangun bangsa yang berperadaban yaitu memperhatikan pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM), membangun budaya positif, budaya organisasi dan pemerintahan yang baik dengan kapasitas manajemen kewirausahaan serta transparansi dan demokratisasi. (DPD RI-RAC)\
Sumber: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=8&dn=20080308112835
1 komentar:
Assalamu'alaikum wr wb.
Saudaraku, ingatlah Nabi Muhammad SAW adalah wirausahawan sejati. Sejak masih muda hingga beliau ditunjuk menjadi Rasul. Sebaiknya pula, pendidikan kewirausahaan haruslah dikombinasikan di dunia pendidikan adik-adik kita, sehingga mereka memiliki prinsip kemandirian yang kuat, lulus sekolah dan kuliah tidak semata mencari kerja tapi membuat lapangan kerja. Jadikanlah anak muda Sumedang sebagai penopang kemandirian ekonomi daerah, niscaya Sumedang akan maju. Aamiin.
Salam, Tatang Solihin, Jakarta
Posting Komentar
Terima kasih atas kesediannya memberi apresiasi di blog ini.
Salam.
Damai di hati. Damai di bumi.